Cerita Karbala yang Dirahasiakan Syiah


Setiap tanggal 10 Muharram (hari Asyura) ada sebuah fenomena mengerikan yang kadang dapat kita saksikan pada liputan berita, yaitu kerumunan orang bercucuran darah yang melakukan berbagai bentuk penyiksaan diri dengan benda-benda tajam, sepeti rantai besi, pedang, cambuk, dan lain lain.


Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu‘anhu ia berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu‘alahi wasallam, “Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah .” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pemandangan inilah yang bisa dijumpai pada penganut Syi’ah setiap menyambut hari Asyura 10 Muharram. Setiap tahun mereka mengenang gugurnya seorang cucu Nabi saw, Hussein bin Ali ra, yang mereka anggap sebagai pahlawan. Hussein tewas di Karbala, Irak, di tangan pasukan utusan gubernur Irak di bawah pemerintahan khalifah Yazid bin Muawiyah yang ia tentang.

Pada hari Asyura tersebut mereka berdatangan ke padang Karbala dari berbagai negara. Di sana mereka hadir dengan pakaian serba putih, sambil bergoyang secara pelan-pelan dan mengucapkan kalimat: haidar, haidar, sebilah pedang diayun-ayunkan ke salahsatu bagian tubuh secara perlahan, kemudian tubuh mereka bersimbah darah.

Perayaan duka di Karbala lebih dikenal dikalangan Syi’ah dengan sebutan ritual Al-Husainiyah yang memilki nilai ibadah cukup tinggi sebagaimana diungkapkan oleh imam-imam mereka. Penyiksaan diri tersebut tidak hanya terbatas dilakukan di bumi Karbala, tetapi juga dilakukan oleh komunitas Rafidhah di negara lainnya.

Orang-orang Syi’ah juga meyakini hari Asyura sebagai hari sial dan membawa celaka. Maka oleh sebab itu mereka mulai dari awal bulan Muharram bahkan selama sebulan mereka tidak melakukan hal-hal penting dalamnya, seperti tidak berpergian, tidak melakukan pernikahan, tidak berhias, tidak memakai pakaian yang bagus, tidak memakan makanan yang enak, dll. Parahnya, anak yang lahir di bulan Muharram adalah anak yang bernasib sial menurut keyakinan mereka orang-orang Syi’ah.

Ritual khusus di hari Asyura yang amat mengerikan tersebut dirangsang dengan mendengarkan syair-syair kisah terbunuhnya Hussein bin Ali ra di padang Karbala yang dikarang sendiri oleh tokoh-tokoh Syi’ah. Kisah tersebut dibumbui dengan berbagai kebohongan serta cacian terhadap para sahabat. Sehingga hal tersebut memancing untuk timbulnya emosional kesedihan serta melakukan penyiksaan diri.


Sejarah yang sengaja dirahasiakan

Sebagaimana kita ketahui bersama, Imam Husein adalah seorang cucu Nabi, manusia yang dicintai oleh Nabi sebagaimana kita mencintai cucunya. Bahkan konon seorang kakek lebih mencintai cucunya dari ayah si cucu yang merupakan anaknya sendiri. Kecintaan nabi kepada Imam Husein begitu besar,begitu juga kepada kakaknya yaitu Imam Hasan. Kita sebagai orang beriman yang mencintai Nabi wajib mencintai mereka yang dicintai Nabi, termasuk cucundanya yang satu ini, sebagai bukti kecintaan kita kepada Kakeknya. Namun kecintaan kita kepada sang Kakek haruslah lebih besar.

Waktu kemudian berlalu sehingga Muawiyah mangkat dan mengangkat Yazid sebagai khalifah. Imam Husein yang enggan berbaiat kepada Yazid segera melarikan diri ke mekkah. Sesampai di mekkah penduduk kota Kufah mengirimkan surat yang jumlahnya mencapai 12000 pucuk surat, yang isinya meminta sang Imam untuk berangkat ke Kufah, di mana penduduknya sudah bersiap sedia untuk membaiat Imam Husein sebagai khalifah. Di antara isi surat itu adalah memberitahu sang Imam bahwa di Kufah terdapat 100000 pasukan yang siap berdiri di belakangnya untuk melawan Bani Umayyah (Lihat kitab Faji'atu Thaff hal 6, karangan Muhammad Kazhim Al Qazweini) Membaca surat itu, sang Imam yakin akan kesiapan 100000 penduduk kufah yang telah siap dengan pedang terhunus untuk melawan dan "kezhaliman bani Umayah", Imam Husein akhirnya berangkat menuju kufah bersama keluarganya. Namun kali ini imam tertipu. Sebelum sampai ke kota Kufah rombongan beliau dicegat oleh tentara suruhan Ibnu Ziyad yang dipimpin oleh Umar bin Saad. Ketika rombongan sang Imam dicegat, kita tidak mendengar 100000 pasukan yang konon siap membela Imam Husein itu ikut membela dan berperang melawan musuhnya, kita tidak tahu kemana perginya mereka, begitu juga 12000 orang yang menuliskan surat ketika sang Imam berada di mekkah. Jika 100000 orang yang mengaku pembela Imam itu ikut berada di padang Karbala, pasti "tentara bani umayah" dapat dengan mudah dikalahkan. Mereka yang memanggil sang Imam begitu saja lari dari tanggungjawab. Mereka tega membiarkan cucu sang Nabi terakhir dijadikan bulan-bulanan, mereka tega darah suci keluarga nabi tumpah akibat larinya mereka dari tanggungjawab. Di dunia mereka bisa lari, namun di akhreat kelak tidak. Sang Imam beserta rombongannya dibiarkan begitu saja menjadi korban pengkhianatan mereka yang mengaku sebagai pengikut dan pembelanya. Rupanya inilah karakter mereka yang mengaku-aku dan sok menjadi pembela ahlulbait sejak zaman para imam.


Akhirnya sang Imam pun Syahid menjadi korban pengkhianatan mereka yang mengaku menjadi pembelanya. Sang Imam Syahid beserta para keluarganya, di antaranya adalah : saudara sang Imam, putra Ali bin Abi Thalib : Abubakar, Umar, Utsman. Bisa dilihat di kitab Ma'alimul Madrasatain karangan Murtadha Al Askari, jilid 3 hal 127. juga dalam kitab Al Irsyad karangan Muhammad bin Nukman Al Mufid hal. 197, I'lamul Wara karangan Thabrasi hal 112, juga kitab Kasyful Ghummah karangan Al Arbali jilid 1 hal 440. ini adalah sebagian referensi saja, yang lainnya sengaja tidak kami sebutkan karena terlalu banyak. Sementara putra Imam Husein di antaranya : Abubakar bin Husain dan Umar.


Sampai di sini mungkin pembaca belum tersadar akan sebuah fenomena yang menarik. Kita lihat di sini Imam Ali dan Imam Husein menamakan anaknya dengan nama para perampas haknya. Kita ketahui bahwa syiah meyakini bahwa khilafah bagi Ali telah ternashkan dari ketentuan Allah dan RasulNya, sedangkan mereka yang tidak mengakui adanya nash dianggap merasa lebih pandai dari Nabi. Dalam sejarah diyakini oleh syiah bahwa Abubakar telah merampas hak yang semestinya menjadi milik Ali. Di antara bentuk protes Ali adalah khotbah syaqsyaqiyyah yang tercantum dalam sebuah literatur penting syiah yaitu kitab Nahjul Balaghah. Namun yang aneh di sini adalah Ali yang memberi nama anaknya dengan nama si perampas hak yang sudah tentu bagi syi'ah adalah dibenci Allah.


Begitu juga menamai anaknya dengan nama Umar, sang penakluk yang telah mengubur kerajaan persia untuk selamanya, dan orang yang konon memukul bunda Fatimah hingga keguguran. Sering kita dengar bahwa Umar telah memukul Fatimah, perempuan suci putri Nabi dan istri Ali hingga janin yang dikandungnya gugur, sungguh nekad orang yang berani memukul putri Nabi. Namun dalam sejarah tidak disebutkan pembelaan Ali terhadap istrinya yang dipukul, malah memberi nama anaknya dengan nama orang yang memukul putri Nabi yang sekaligus adalah istrinya. Sementara di sisi lain kita tidak pernah menemukan bahwa Ali memberi nama anaknya dengan nama ayahnya yang "tercinta" yaitu Abu Thalib. Begitu juga para imam ahlulbait tidak pernah tercantum bahwa mereka memberi nama anak mereka dengan nama Abu Thalib. Apakah para imam ahlulbait lebih mencintai Abubakar dibanding cinta mereka pada Abu Thalib, kakek mereka sendiri? Ternyata fakta berbicara demikian. Mengapa tidak ada seorang imam maksum –terbebas dari kesalahan dan dosa- yang memberi nama anaknya dengan nama Abu Thalib? Jika ada yang mengatakan bahwa para Imam Ahlulbait memberi nama anak mereka dengan nama-nama musuh karena basa basi, apakah para imam begitu penakut sehingga harus berbasa basi dalam hal nama anak? Ataukah para imam begitu hina mau dipaksa orang lain untuk memberi nama anaknya sendiri?

Catatan:
Berkata Imam Al-Ghazali dan ulama lainnya, “Diharamkan bagi para pemberi nasihat (dai) meriwayatkan tentang kisah terbunuhnya Husain. Begitu pula tentang hal yang terjadi antara sesama para sahabat dari perselisihan dan pertikaian. Karena hal itu dapat memotifasi orang untuk membeci para sahabat dan mencela mereka. Sedang mereka adalah tauladan umat, yang para ulama mendapatkan ilmu melalui perantara mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang mengambil ilmu dari mereka. Maka orang yang mencela mereka adalah orang yang tercela pada diri dan agamanya.”

0 komentar: